A. Selayang Pandang
Nagari Pariangan terletak di tengah lereng perbukitan Gunung Merapi dengan luas wilayah sekitar 17,97 km2 dan berada pada ketinggian 500-700 meter di atas permukaan laut (dpl). Nagari tersebut menjadi cikal bakal lahirnya sistem pemerintahan khas masyarakat Minangkabau, yang populer dengan nama nagari. Menurut sejumlah pengamat, sistem pemerintahan nagari mirip dengan konsep polis pada masyarakat Yunani kuno yang lebih otonom dan egaliter. Namun, sistem pemerintahan nagari hanya bertahan sampai tahun 1980. Karena, pada tahun 1981, terbitlah undang-undang tentang perubahan sistem pemerintahan di tingkat bawah. Sistem pemerintahan nagari kemudian diganti dengan sistem pemerintah desa sebagaimana yang berkembang pada masyarakat Jawa. Seperti nagari-nagari lainnya di Sumatra Barat, Nagari Pariangan pun beralih menjadi Desa Pariangan. Perubahan ini berdampak negatif pada masyarakat Sumatra Barat, seperti hilangnya kemandirian dan mengikisnya semangat egalitarianisme yang telah lama dipraktekkan.
Gunung Merapi yang tampak dari sudut Kota Bukittinggi
Sumber Foto: www.kabarindonesia.com
Sumber Foto: www.kabarindonesia.com
Pada tahun 1999, bertepatan dengan keluarnya keputusan pemerintah melalui UU Otomi Daerah yang memberi peluang bagi daerah untuk mengembangkan diri secara mandiri, masyarakat Sumatra Barat pun tidak melewatkan kesempatan emas tersebut. Undang-undang tersebut dijadikan momentum untuk menerapkan kembali sistem pemerintahan nagari. Awal tahun 1999 hingga tahun 2000 adalah masa-masa pewacanaan kembali sistem pemerintahan nagari (baliak ka nagari), terutama di luhak nan tigo, yaitu Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Agam, dan Kabupaten Lima Puluh Kota. Sistem pemerintahan desa pun berganti dengan sistem pemerintahan nagari. Pariangan sebagai daerah asal Minangkabau pun berganti nama dari Desa Pariangan menjadi Nagari Pariangan.
Tak hanya dikenal sebagai asal-muasal nagari, Nagari Tuo Pariangan juga dikenal sebagai asal-mula masyarakat Minangkabau. Dalam catatan sejarah yang terekam dalam tambo Minang menunjukkan bahwa Nagari Pariangan adalah nagari asal suku Minangkabau yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai "Tampuk Tangkai Alam Minangkabau". Artinya, nagari ini dipercaya sebagai tempat pertama munculnya kehidupan di Alam Minangkabau ratusan tahun silam. Dalam tambo diceritakan, bahwa masyarakat Minangkabau merupakan keturunan Alexander Agung. Konon, beliau memiliki tiga orang putra, yaitu Sultan Maharaja Dipang (Sutan Maharajo Dipang), Sultan Maharaja Alif (Sutan Maharjo Alif), dan Sultan Maharaja Diraja (Sutan Maharajo Dirajo). Ketiganya merasa mempunyai hak yang sama untuk mewarisi jabatan ayahnya sebagai raja. Oleh sebab itu, ketiganya juga sama-sama berambisi untuk menggantikan posisi ayahnya tersebut.
Pada suatu ketika, ketiga putra raja tersebut sedang berada di atas sebuah kapal di tengah laut. Di atas kapal yang sedang berlayar itu, mereka bertengkar hebat dan mengklaim diri mereka masing-masing sebagai orang yang paling pantas menggantikan ayahnya sebagai raja. Puncak dari pertengkaran tersebut adalah perebutan mahkota raja yang terdapat di dalam kapal. Ketika sibuk bertengkar dan memperebutkan mahkota raja, tanpa mereka sadari, mahkota tersebut terlepas dan kemudian jatuh ke laut lepas. Ketika menyadari apa yang mereka perebutkan hilang, ketiganya berusaha mencari mahkota tersebut. Namun, apa yang mereka upayakan berakhir sia-sia belaka.
Setelah tidak berhasil menemukan mahkota raja, mereka kemudian melanjutkan pelayaran dengan tujuan yang berbeda-beda. Sultan Maharaja Dipang memilih berangkat ke arah Dataran Cina, Sultan Maharaja Alif memilih rute pelayaran ke Negeri Rum, dan Sutan Maharaja Diraja memilih rute pelayaran yang lain, sembari berharap menemukan mahkota yang hilang. Akhirnya, Sultan Maharaja Diraja terdampar di sebuah puncak gunung, yang belakangan dikenal dengan nama Gunung Merapi. Daerah yang terletak di sekeliling Gunung Merapi inilah yang kemudian disebut sebagai Alam Minangkabau.
Untuk menggambarkan asal-usul nenek moyang masyarakat Minang tersebut, terdapat sebuah pantun yang sangat familiar di kalangan masyarakat Minang:
Darimano asa titiak palito,
Di baliak telong nan batali
Darimano asa niniak moyang kito,
Dari lereang Gunuang Marapi
(Dari mana asal titik pelita
Dari balik telong yang bertali
Dari mana asal nenek moyang kita
Dari lereng Gunung Merapi)
Oleh karena memiliki kekayaan sejarah dan budaya ini, Nagari Pariangan menjadi salah satu destinasi wisata di Kabupaten Tanah Datar. Sebagai nagari tua yang terdapat di Sumatra Barat, Nagari Pariangan menawarkan daya tarik objek wisata sejarah, budaya, dan alam.
B. Keistimewaan
Memasuki kawasan Nagari Pariangan, para wisatawan akan diajak bernostalgia untuk mengenang kembali sejarah berabad-abad lampau melalui beberapa peninggalan bersejarah. Para wisatawan akan disambut dengan bangunan-bangunan lama yang memiliki nilai sejarah, kuburan tua, peninggalan batu dari zaman megalitikum, dan panorama alam yang memukau. Di Nagari Pariangan, terdapat berbagai tempat dan bangunan bersejarah peninggalan nenek moyang masyarakat Minangkabau yang menarik untuk dikunjungi, seperti Balairung Sari Tabek (Rumah Gadang tertua di Minangkabau), Rumah Gadang Dt. Bandaro I, Rumah Gadang Dt. Rangkayo Sati, Masjid Tuo (tua) Pariangan, serta Monumen Api Porda.
Rumah Gadang tempo dulu
Sumber Foto: teezone.multiply.com
Sumber Foto: teezone.multiply.com
Balairung Sari Tabek pada zaman dahulu sering dipergunakan untuk tempat bermusyawarah para pembesar dan penghulu kerajaan. Di samping itu, balairung ini sering juga dipergunakan untuk tempat menyelesaikan berbagai perkara yang terjadi di kalangan masyarakat di Nagari Pariangan. Sekarang ini, di samping dijadikan maskot wisata sejarah Nagari Pariangan, Balairung Sari juga dijadikan maskot wisata sejarah Kabupaten Tanah Datar. Bangunan bersejarah lainnya yang telah berusia ratusan tahun adalah Masjid Tua Pariangan, yang lebih dikenal dengan nama Masjid Ishlah. Masjid yang dibangun dengan gaya arsitektur Dongson ala dataran tinggi Tibet ini hingga kini tetap berdiri kokoh dan memesona. Selain itu, bangunan masjid ini menggambarkan betapa majunya peradaban Minangkabau tempo dulu.
Selain bangunan bersejarah, di daerah ini juga terdapat beberapa kuburan kuno, di antaranya adalah kuburan panjang Datuk Tantejo Gurhano dan kuburan Puti Indo Jalito (Puteri Indera Jelita). Puti Indo Jalito dikenal sebagai bundo (bunda) dari asal pucuk pimpinan adat masyarakat Minangkabau, yaitu Datuk Parpatiah Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan yang dikenal sebagai arsitek rumah gadang. Mengenai kuburan Datuk Tantejo Gurhano, menurut juru pelihara makam, Datuk Sampurno Marajo, tidak ada orang yang sama mengukur panjang makam yang membujur dari arah utara ke selatan. Ada yang mengatakan panjangnya 24 meter, ada juga yang mengatakan 29 meter.
Di nagari ini terdapat pula beberapa prasasti kuno peninggalan raja-raja pada masa Kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung. Ada beberapa prasasti yang masih utuh yang dapat dijumpai di nagari tersebut, seperti Prasasti Pariangan, Batu Tigo Luak, dan Menhir. Prasasti-prasasti tersebut sudah berumur cukup lama bahkan menjadi saksi bisu perjalanan sejarah masyarakat Pariangan dari zaman megalitikum hingga zaman modern sekarang ini. Batu dan prasasti tersebut masih tetap utuh di tempatnya semula. Hanya saja, akibat perubahan cuaca dan kurangnya perawatan, permukaan batu dan prasasti mulai memudar, warnanya berubah, dan tertutup lumut.
Nagari Pariangan bertambah lengkap dengan terdapatnya tempat-tempat khusus untuk wisatawan agar lebih leluasa lagi menikmati panorama alam nagari tua ini, seperti Bukit Sirangkiang dan Pintu Angin. Dari kedua bukit tersebut, para wistawan dapat menyaksikan hamparan petak-petak sawah yang memesona dan pemandangan alam yang terdapat di sepanjang kaki Gunung Merapi.
Setelah puas menikmati keeksotisan dan keindahan nagari bersejarah bagi masyarakat Minang ini, wisatawan dapat melepas lelah dengan mandi di objek wisata air hangat yang letaknya dekat dengan kedua bukit tersebut. Masyarakat setempat mempercayai bahwa air hangat tersebut dapat menghilangkan berbagai penyakit kulit, seperti gatal-gatal, kurap, dan kudis, serta dapat menghilangkan kecapekan.
C. Lokasi
Nagari Pariangan terletak di Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia.
D. Akses
Nagari Pariangan berada di tepi jalan yang menghubungkan Kota Batusangkar dan Kota Padang Panjang. Nagari tua ini hanya berjarak sekitar 100 m dari jalan raya yang menghubungkan kedua kota tersebut. Dari Kota Padang, Nagari Pariangan dapat dikunjungi dengan menggunakan bus, jasa travel, atau mobil sewaan dengan waktu tempuh sekitar 2 jam. Bila menggunakan bus, ongkosnya sekitar Rp 20.000-Rp 25.000 per orang (Januari 2009). Sedangkan dari Kota Batusangkar, Ibu Kota Kabupaten Tanah Datar, Nagari Pariangan dapat dicapai dengan naik bus, minibus, atau ojek dengan waktu tempuh sekitar 20 menit.
E. Harga Tiket
Tidak dipungut biaya.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Dalam proses konfirmasi.
(Diolah dari berbagai sumber/Noor Fadlli Marh/wm/80/01-09)
Sumber : Reviewer: Unknown
Description: Nagari tuo pariangan
ItemReviewed: Nagari tuo pariangan
Get this widget
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !